Kamis, 25 September 2014

Inklusi Keuangan dan Ekonomi Indonesia

Inklusi Keuangan dan Ekonomi Indonesia

Matthew Driver  ;   Presiden MasterCard Asia Tenggara
KORAN SINDO, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Indonesia berada di peringkat ke-15 dunia untuk produk domestik bruto, namun hanya 50 juta orang Indonesia yang memiliki akses terhadap rekening bank.
Dengan mempercepat inklusi keuangan, jutaan orang Indonesia akan mendapatkan akses layanan dasar seperti menabung dengan aman dan melakukan transaksi, mengasuransikan properti mereka, dan mendapatkan akses pinjaman untuk usaha kecil, serta pada akhirnyamempercepatmomentum pertumbuhan ekonomi negara kepulauan ini. Pengamatan tersebut dilontarkan oleh Presiden Direktur Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin saat berlangsungnya World Economic Forum on East Asia baru-baru ini di Manila.

Beliau menggarisbawahi pentingnya penyediaan layanan keuangan mendasar bagi masyarakat Indonesia berpenghasilan rendah--sebuah persoalan yang relatif lebih mudah diatasi dengan adanya teknologi digital. Masa depan ekonomi Indonesia merupakan salah satu yang paling menjanjikan di dunia. Selain sebagai negara dengan ekonomi terbesar se-Asia Tenggara, Indonesia juga merupakan negara yang sangat luas dengan 238 juta penduduk serta diperkirakan oleh McKinsey akan berada di peringkat ketujuh negara dengan ekonomi terbesar di dunia pada 2030.

Artinya pada saat itu negara ini akan ada di depan negara-negara maju lain seperti Jerman dan Inggris. Namun, hal tersebut masih jauh dan memiliki arti kecil bagi sebagian penduduk Indonesia yang masih mengalami kesulitan saat ini. Akses layanan keuangan dasar merupakan hambatan utama Indonesia yang memiliki 17.000 pulau, di mana luas wilayah dan penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan tantangan dalam pembangunan infrastruktur, sehingga membatasi akses layanan perbankan formal ataupun hubungan sederhana sekalipun dengan sebuah lembaga keuangan.

Seperti yang diungkapkan dalam penelitian MasterCard baru-baru ini, ”ROAD TO INCLUSION: A look at the Financially Excluded and Underserved”, bahwa masih banyak penduduk pinggiran-kota dan pedesaan di Indonesia lebih memilih metode tradisional dalam menyimpan uang seperti tabungan di tokoh masyarakat atau sistem arisan. Dan saat sejumlah orang telah memiliki akses terhadap rekening bank, ternyata masih banyak dari mereka justru tidak percaya terhadap bank.

Salah satu contohnya adalah Susi Indah, warga Indonesia berumur 37 tahun, dulu memiliki rekening bank untuk menyimpan semua tabungannya. Tiga tahun yang lalu, Susi memiliki uang sebesar Rp 35 juta di bank. Dia lalu menarik hampir semua uang tersebut ketika membangun rumahnya dan menyisakan sekitar Rp1-2 juta di rekening. Tidak menyadari akan adanya biaya administrasi bank, dia mengklaim bahwa ”uangnya mulai menghilang” tanpa ada penjelasan. Kejadian ini membuatnya kehilangan kepercayaan terhadap bank dan membuatnya tidak menggunakan jasa lembaga keuangan lagi.

Telah diakui bahwa dengan menghantarkan inklusi keuangan yang lebih besar ke Indonesia akan membantu perkembangan ekonomi dan penanggulangan kemiskinan. Gates Foundation, seperti yang dipublikasikan oleh McKinsey, menunjukkan bahwa ekonomi dengan penetrasi pembayaran elektronik yang lebih tinggi akan tumbuh lebih cepat dibandingkan yang tidak. Para pembuat kebijakan semakin menyadari bahwa pasar keuangan yang dapat menjangkau semua orang akan lebih efektif dan efisien dibandingkan kebijakan yang lain.
Sejalan dengan hal ini, pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia baru-baru ini meluncurkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) di Jakarta. Pencanangan dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pelaku bisnis dan juga lembaga-lembaga pemerintah untuk menggunakan sarana pembayaran nontunai dalam melakukan transaksi keuangan, yang tentunya mudah, aman, dan efisien (sumber: http://www.bi.go.id ).

Langkah pertama dalam inklusi keuangan adalah menyediakan identitas khusus kepada para pelanggan, berdasarkan pada layanan keuangan mana yang dapat diberikan serta akhirnya terkait dengan rekening pembayaran. Salah satu contoh manfaat dari kartu debit prabayar dapat dilihat di Afrika Selatan, di mana mereka biasa menyalurkan bantuan sosial dan membuat pemerintah setempat dapat menghemat jutaan dolar. Indonesia saat ini telah menjadi salah satu negara yang menggunakan sistem identitas nasional terbesar di dunia, yaitu e-KTP, yang telah sukses mendistribusikan 147 juta kartu identitas ke penduduk.

Melalui kartu ini, terdapat potensi untuk menghubungkan e-KTP ke berbagai program pemerintah dengan menjadikannya sebagai alat pembayaran, daripada menyalurkan dana bantuan dalam bentuk tunai. Hal ini membutuhkan sebuah kartu pembayaran yang terhubung dengan rekening bank yang memiliki potensi untuk memberikan layanan keuangan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Dari sini kemudian pihak bank dapat memperkenalkan layanan baru kepada para nasabah, dengan setahap demi setahap mulai melakukan aktivitas lanjutan seperti membayar tagihan, mengajukan kredit, menabung, meminjam, dan melakukan investasi.

Perangkat seluler nampaknya akan memainkan peran penting di negara berkembang seperti Indonesia, di mana lebih banyak orang memiliki telepon seluler dibandingkan rekening bank. Teknologi seluler dapat menjadi tulang punggung layanan keuangan dasar yang sebagian besar dari kita sering meremehkannya. Saat ini sekitar 2,5 miliar orang di dunia belum memiliki rekening bank. Dari jumlah tersebut, setidaknya sebanyak 1,5 miliar orang telah memiliki telepon seluler.

Saat ini hanya 20% dari orang Indonesia yang memiliki akses ke layanan keuangan, dan sangat banyak orang yang tinggal jauh dari cabang bank terdekat. Penetrasi kartu debit di Indonesia kurang lebih 30%, namun mayoritas terletak di wilayah perkotaan, di mana seseorang dapat memiliki lebih dari satu rekening. Sementara itu, hanya 6% yang memiliki kartu kredit.

Di lain pihak, lebih dari 90% dari penduduk Indonesia memiliki telepon seluler dan hal tersebut menunjukkan kesempatan yang besar bagi transaksi elektronik melalui perangkat seluler (mobile commerce) dan kemampuan untuk mengakses sarana-sarana keuangan.

Jadi, seperti apa inklusi keuangan di negara berkembang seperti Indonesia? Pertama-tama mari kita dari memahami bahwa hal ini bukan mengenai jarak kantor cabang sebuah bank yang kemungkinan cukup jauh dari tempat tinggal.

Sebaliknya, hal ini mengenai tempat yang lebih aman untuk menyimpan uang dibandingkan di lemari dapur atau di bawah bantal serta cara yang lebih baik dalam menelusuri jejak pengeluaran. Inklusi keuangan adalah bagaimana memperoleh akses yang lebih aman, tanpa melibatkan uang tunai dan pembayaran dalam bentuk elektronik seperti kartu debit, kredit, atau prabayar. Inklusi keuangan adalah bagaimana menciptakan kesempatan bagi banyak orang untuk memanfaatkan keterampilan dan sumber daya mereka untuk meningkatkan kualitas hidup.

Inovasi dalam teknologi pembayaran-prabayar dan perangkat seluler digabung dengan biometrik--memainkan peran kunci di mana hal tersebut dapat dengan cepat menjembatani jarak antara sektor formal layanan keuangan dengan jutaan orang berpenghasilan rendah atau tidak memiliki akses ke layanan keuangan. Indonesia tentunya akan mendapatkan keuntungan dari cara-cara nontradisional tersebut untuk memperluas pembayaran nontunai (cashless).

Beberapa penyedia pembayaran telah bekerja sama dengan operator telekomunikasi untuk mengembangkan dompet digital (digital wallet), walaupun untuk sekarang sistem ini masih terbatas pada perusahaan yang bekerja sama. Inisiatif lain di Indonesia yaitu program kartu virtual yang memungkinkan berbagai jenis pembayaran serta upaya-upaya dari bank untuk mempromosikan penggunaan kartu debit di setiap titik pembayaran (point of sale).

Pada saat yang sama terdapat banyak kesempatan untuk pengembangan program baru, mulai dari adopsi pemerintah yang lebih besar terhadap layanan elektronik (e-Services) dan pembayaran, menuju penerapan program prabayar ”open loop” yang sudah biasa digunakan di negara-negara ASEAN lain untuk mendukung perluasan layanan keuangan kepada pengguna telepon seluler yang tidak memiliki rekening di bank sertajugapelaksanaanprogramprogram pemerintah termasuk pembayaran gaji. Dengan masa depan ekonomi yang kuat, program-program ini dapat terus mendukung perkembangan ekonomi dan inklusi di Indonesia.

Eksklusi (ketiadaan akses terhadap lembaga) keuangan dapat melanggengkan kemiskinan. Hal ini juga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. Menyediakan layanan keuangan dasar bagi orangorang yang selama ini tidak memiliki akses perbankan akan menciptakan kesempatan yang sangat berarti bagi masyarakat yang tinggal di negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk memberi sumbangsih bagi pertumbuhan ekonomi.

Sisi positifnya adalah hal tersebut diketahui oleh hampir semua pembuat kebijakan kunci dan pemain pasar bahwa inklusi keuangan merupakan sesuatu yang harus dijalankan di Indonesia. Tidak ada lagi pertanyaan mengenai ‘apa’ dan ‘jika’, melainkan pertanyaan mengenai ‘kapan ’. Dengan pemerintah baru yang memiliki agenda reformasi yang positif, masa depan perkembangan inklusi keuangan di Indonesia akan sangat menjanjikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar