Minggu, 05 Agustus 2012

Kebisuan Suu Kyi

Kebisuan Suu Kyi
Avina Nadhila Widarsa ; Mahasiswa Pascasarjana S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura
REPUBLIKA, 04 Agustus 2012


Paradoks, mungkin itulah kata yang tepat menggambarkan `kebisuan' Aung San Suu Kyi, sang ikon demokrasi dari Myanmar terhadap tragedi kemanusiaan yang terjadi di negaranya sendiri. Suu Kyi yang meraih Nobel Perdamaian tahun 1991 ini telah dianggap sebagai simbol internasional perlawanan damai masyarakat Myanmar terhadap penindasan yang dilakukan oleh junta militer.

Dunia tentu berharap, pembebasan Suu Kyi dari tahanan rumahnya pada 2010 dan kemenangannya dalam pemilu sela pada April 2012 bisa membawa harapan baru bagi Myanmar. Sayangnya, sikap diam dan cenderung tidak peduli yang dilakukan oleh Suu Kyi dalam kasus pembantaian etnis Muslim Rohingya di Myanmar telah membuat dunia internasional, khususnya para pegiat HAM yang selama ini mengelu-elukannya dan masyarakat di negara-negara Muslim kecewa.

Kemunculan Suu Kyi sebagai tokoh pejuang HAM dan pembela demokrasi di Myanmar pada akhir 1980-an membawa harapan bagi masyarakat Rohingya untuk kehidupan yang lebih baik. Tidak sedikit dari etnis Rohingya yang mengidolakan Suu Kyi dan berharap agar Suu Kyi bisa menjadi pemimpin Myanmar sehingga kehidupan mereka akan menjadi  lebih baik.

Sayangnya, hingga saat ini, Suu Kyi belum menunjukkan sikap yang menandakan afirmasinya terhadap etnis minoritas Rohingya. Alih-alih mendukung keberadaan mereka, Suu Kyi justru menolak berbicara mengenai isu Rohingya dan menegaskan bahwa konflik-konflik yang berkaitan dengan etnis minoritas harus diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku dan dilakukan secara hati-hati.

Motif Politis

Kebisuan Suu Kyi terhadap isu Rohingya tentu menuai tanda tanya besar bagi masyarakat internasional. Sebagian berspekulasi diamnya Suu Kyi dikarenakan alasan politisnya yang ingin maju dalam pemilu presiden di Myanmar sehingga membutuhkan dukungan dari masyarakat etnis Burma dan Arakan, yang menjadi penduduk mayoritas di sana. Sementara itu, penduduk Burma dan Arakan yang memeluk agama Buddha tersebut memiliki sentimen negatif terhadap keberadaan etnis Rohingya yang beragama Islam.

Rohingya tidak diakui sebagai etnis asli dalam Undang-Undang Kependudukan tahun 1948. Mereka yang dianggap sebagai etnis asli di Myanmar hanyalah etnis Burma, Arakan, Chin, Kachin, Karen, Kayan, Mon atau Shad, dan etnis-etnis lain yang telah menetap di Myanmar sebelum tahun 1832 Masehi. Sementara itu, menurut catatan sejarah, etnis Rohingya baru menetap pertama kali di Myanmar tahun 1840. Artinya, pemerintah Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai etnis aslinya dan menyebabkan mereka tidak bisa diberikan status warga negara berdasarkan undangundang tahun 1948 maupun hukum kependudukan terbaru tahun 1992.

Menurut hemat saya, ada setidaknya tiga alasan yang menjadi kemungkinan sebab diamnya Suu Kyi terhadap isu ini. Pertama, alasan politis yang telah banyak dipaparkan para analis. Suu Kyi yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilu berikutnya di Myanmar merasa perlu mengambil hati mayoritas masyarakat Myanmar. Isu etnis Rohingya yang sangat sensitif bagi mereka, sehingga jika Suu Kyi terkesan membela etnis Muslim tersebut otomatis akan menjadi blunder bagi langkah politik Suu Kyi ke depannya.

Kedua, alasan hukum. Sesuai dengan hukum kependudukan yang berlaku di Myanmar, etnis Rohingya tidak termasuk ke dalam etnis asli di negara tersebut.
Suu Kyi yang walaupun menentang pemerintahan otoriter junta militer dan menjadi oposisi dari pemerintahan sipil saat ini tetap ingin memosisikan dirinya sebagai warga negara yang baik, taat pada aturan hukum. Jika ia menunjukkan dukungannya terhadap etnis Rohingya, bukan tidak mungkin pemerintahan Presiden Thein Sein akan kembali menangkap dan memenjarakannya karena dianggap melawan hukum yang berlaku.

Hal ini juga terkait dengan alasan pertama, apabila Suu Kyi kembali ditang kap maka kesempatannya menjadi pemimpin di negara tersebut akan semakin kandas. Alasan ketiga yakni alasan personal. Suu Kyi terlahir sebagai etnis Burma yang memeluk agama Buddha Teravada. Walaupun ia senantiasa mem per juangkan penegakan HAM dan demokrasi di Myanmar, namun sentimen pribadinya sebagai etnis mayoritas sangat mungkin memengaruhi keputusan dan sikapnya terhadap berbagai isu.

Cermin Sikap

Keberadaan masyarakat Rohingya yang merupakan etnis minoritas dan beragama Islam bisa jadi juga mendapat reaksi negatif dari Suu Kyi secara pribadi. Interaksi Suu Kyi dengan kaum mayoritas tentu saja memengaruhi persepsinya terhadap keberadaan kaum minoritas, apalagi terhadap etnis Muslim Rohingya yang bermasalah dengan penduduk mayoritas Buddha Burma dan Arakan.

Ketiga alasan di atas cukup membuat Suu Kyi emoh berkomentar lebih jauh terhadap tragedi yang menimpa masyarakat Rohingya. Tentu saja sikap diamnya Suu Kyi terhadap permasalah ini menimbulkan kekecewaan dan tanda tanya yang besar di mata masyarakat internasional. Ia yang dianggap sebagai simbol Myanmar yang demokratis dan peduli dengan HAM ternyata tidak dapat memenuhi ekspektasi masyarakat in ternasional yang menginginkannya bertindak lebih dalam menanggapi isu Rohingya.

Sikap diamnya saat ini dapat dilihat sebagai cerminan kebijakan Suu Kyi jika terpilih menjadi presiden Myanmar. Jika memang ia tidak memiliki kemampuan (dan kemauan) untuk mengubah nasib Muslim Rohingya di Myanmar saat ini maka bisa diprediksi, kemungkinan besar keadaan Muslim Rohingya tidak akan jauh berubah di bawah rezim kepemimpinannya apabila terpilih nanti. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar